Cara Taubat Yang Benar



Para ulama membagi dosa ke dalam dua kelompok. Pertama, dosa karena melanggar hak-hak Allah. Kedua, dosa karena melanggar hak anak Adam. Tata cara taubat untuk kedua dosa ini adalah sebagai berikut:

Pertama; dosa karena melanggar hak-hak Allah. Imam an-Nawawi menyatakan, syarat-syarat diterimanya taubat atas dosa karena melanggar hak-hak Allah ada tiga macam. Pertama, meninggalkan ma’siyyat; kedua adanya penyesalan; ketiga harus bertekad untuk tidak mengerjakannya kembali di masa akan datang.

Jika ada perintah untuk mengqadla, atau membayar kafarat atas pelanggarannya, maka seseorang belum sempurna taubatnya hingga dirinya membayar qadha dan kafarat. Contohnya, ada seseorang meninggalkan sholat fardlu dengan sengaja. Selanjutnya, ia insyaf dan sadar atas kesalahannya. Bila ia ingin bertaubat atas kesalahannya, dirinya harus memenuhi tiga syarat di atas. Jika kewajiban yang ia tinggalkan itu harus diqadla berdasarkan ketentuan syara’, dirinya harus melakukan qadha. Jika, ia harus membayar kafarat, dirinya juga wajib membayar kafarat atas pelanggaran tersebut. Contohnya, pelanggaran atas sumpah. Orang yang melanggar sumpah, ia berkewajiban membayar kafarat sumpah. Kafarah sumpah bisa dipilih sebagai berikut; (1) memberi makan, (2) memberi pakaian, (3) memerdekakan budak. Jika ia tidak mampu melaksanakan tiga hal ini, ia berkewajiban melakukan puasa selama tiga hari.

Jika pelanggaran itu berhubungan dengan hududnya Allah SWT, taubatnya tidak cukup dengan melakukan tiga hal di atas. Akan tetapi, ia harus menjalani hadnya Allah SWT. Hudud ada enam macam, (1) zina dan homosex, (2) pencurian, (3) minum khamer, (4) hirabah, (5) qadzaf, (6) murtad. Orang yang minum khamer harus dikenai had, yakni dihukum jilid sebanyak 40 kali. Pezina muhshon dikenai hukuman rajam hingga mati. Pelaku qadzaf (menuduh isterinya berzina) harus dikenai jilid sebanyak 80 kali.

Imam Syafi’i berpendapat, jika seseorang melanggar dosa yang terkategori hududnya Allah, taubatnya akan diterima dan had atas dirinya gugur, jika ia bertaubat kepada Allah SWT dengan penyesalan yang benar. Ketetapan semacam ini didasarkan pada kenyataan, bahwa para pelaku hirabah (pembegal dan penyamun) tidak boleh dijatuhi had hirabah, jika mereka telah bertaubat sebelum tertangkap.

Jika khalifah berhasil menangkap pelaku hirabah, akan tetapi mereka telah melakukan taubat sebelum tertangkap, khalifah tidak boleh menjatuhkan hukuman had kepada mereka. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah SWT:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilangan; atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu, sebagai penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. Kecuali, orang-orang yang bertaubat (diantara mereka sebelum kamu berhasil menangkap mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 33-34).

Jika mereka bertaubat setelah tertangkap, mereka tetap dijatuhi had hirabah. Bagi peminum, pencuri, dan pezina, jika mereka memperbaiki diri dan bertaubat, kemudian mereka dilaporkan kepada khalifah, maka khalifah tidak boleh memberi sanksi kepada mereka. Sebab, mereka telah bertaubat sebelum dilaporkan (ditangkap). Namun jika mereka baru bertaubat setelah dilaporkan kepada khalifah, mereka tetap dijatuhi had. Dalam kondisi seperti ini, mereka seperti halnya orang-orang yang melakukan hirabah kemudian tertangkap dan belum sempat bertaubat. Pendapat ini dipilih oleh madzhab Syafi’i.

Kedua; dosa karena melanggar hak-hak anak Adam. Apabila dosa tersebut berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak anak Adam, syarat taubatnya ada empat macam. Tiga syarat telah disebutkan di muka, dan ditambah dengan syarat keempat, yakni, menunaikan haq-haq orang yang ia dzalimi.

Seseorang yang merampas harta orang lain, taubatnya akan diterima oleh Allah SWT, jika empat syarat di atas dipenuhi. Ia tidak cukup hanya menyesal, akan tetapi ia harus meminta maaf atau dengan mengembalikan harta orang tersebut, bila ia mampu.

Jika ia tidak mampu mengembalikannya, hendaknya ia berniat untuk mengembalikannya dengan segera jika ia telah mampu. Jika seseorang menimpakan bahaya kepada seorang muslim lainnya, sedangkan orang muslim tersebut tidak menyadari atau tidak tahu, ia harus segera menyingkirkan bahaya tersebut. Selanjutnya, ia harus memohon maaf kepadanya. Jika orang yang terdzalimi tersebut memaafkan, maka dosa pendzalim itu terputus. Jika pendzalim mengutus seseorang untuk meminta maaf, kemudian madzlum (orang yang terdzalimi) memaafkan —diketahui langsung atau tidak—, ini juga sah. Seorang yang berbuat buruk kepada orang lain, misalnya menyakiti hatinya, menamparnya, memukulnya tanpa ada alasan yang benar, atau mencambuknya dengan cemeti kemudian menyakitinya, ia harus memohon maaf kepada orang itu, dan menyesali perbuatannya.

Dosa karena melanggar hak-hak anak Adam tidak akan gugur sampai ia bertaubat pada dirinya sendiri, dan ia dimaafkan oleh orang yang didzaliminya.

Namun, jika orang yang kita berhutang dengannya telah meninggal, apa yang bisa kita lakukan: pertama, mengembalikan hartanya kepada walinya. Kedua, jika kita tidak mengetahui dimana ahli warisnya, maka letakkan harta itu di baitul mall.

Dan ada point yang penting lagi dalam bertobat ini adalah “Tidak menceritakan maksiatnya kepada orang lain” Jadi maksiat itu hanyalah antara kita dan Allah, dan kemudian kembali kepada Allah. Sekarang ini banyak orang yang bermaksiat dengan bangga menceritakan kemaksiatannya kepada orang lain.

Sebagaimana dalam hadits Rosulullah:

“Siapa saja yang membuka aib seseorang maka Allah akan membuka aibnya di akherat”

Imam Syafi’I berkata:

“Barang siapa yang menceritakan dosanya, itu ibaratkan tertawa diatas dosanya sendiri, dan orang yang tertawa diatas dosanya itu adalah orang yang mentertawakan ALlah”



Taubatnya Rasulullah

Al-Agharr bin Yasar Al-Muzani r.a narrated that Allah’s Messenger SAW said, “Turn you people in repentance to Allah and beg pardon of Him. I turn to him in repetence a hundred times a day.” [H.R Muslim].

Rosulullah adalah orang yang maksum (dosa yang lalu dan akan dating sudah diampuni oleh Allah, dan tidak pernah berbuat salah) namun beliau masih saja bertobat kepada Allah dan beristigfar paling sedikit 100 kali sehari, bagaimana dengan kita yang banyak dengan dosa ini?



Kisah-kisah Orang Yang Bertaubat

Ada seorang yang melakukan pembunuhan sejumlah 99 orang. Dia ingin bertaubat, maka dia bertanya kepada orang setempat untuk tunjukkan tempat orang alim.

Pertama, datanglah dia ketempat Rahib. Dia menyatakan keinginannya untuk bertaubat atas seluruh dosa-dosanya. Sangat Rahib cakap bahwa tidak ada jalan untuknya untuk bertaubat, sudah terlalu banyak dosa yang ia lakukan. Maka orang yang ingin bertaubat tadi emosi mendengar pernytaan dari Rahib dan akhirnya sang Rahib dibunuh juga. Jadi dia telah membunuh 100 orang.

Kedua, Datanglah dia ketempat ulama. Sang ulama menyatakan bahwa ada jalan taubat untuk dia, Ulama menyatakan untuk pergi ke Syam (Palestina, Syiria, Lebanon) karena disana penduduknya menyembah karena kecintaan kepada Allah. Ulama tersebut menyuruh orang yang hendak taubah itu berdiam diri saja disana jangan berpindah-pindah.

Rosulullah bersabda:

“Tidak ada hijrah lagi bagimu Muhammad setelah futuhat Mekkah, namun kalau mau hijrah, hijrahlah dari bumi yang jelek ke bumi yang bagus”

Berangkatlah orang tadi ke negri Syam, namun masih belum sampai orang ini meninggal. Malaikat penjaga neraka sudah mau memasukkan dia ke neraka, namun malaikat penjaga Syurga hendak mengambilnya pula, karena orang ini sudah berniat untuk taubat. Akhirnya diukur perjalanan dia. Ternyata langkahnya lebih dekat sejengkal saja lebih dekat ke tempat tujuannya. Akhirnya dia masuk syurga. Sebagaimana firman Allah:

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s An Nisaa’ [4]: 100)

Ada kisah lain, diriwayatkan oleh Abi Bukhid. Bahwasannya datanglah seorang perempuan janda sedang hamil ke hadapan Rasulullah. Wanita ini ingin bertaubat, dia ingin dirajam sampai mati agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah. Namun Rosulullah tidak langsung menghukumnya, karena tidak punya saksi. Selain itu tidak boleh merajam wanita yang sedang hamil, begitu juga haram hukumnya menikahi perempuan yang sedang hamil. Akhirnya Rosulullah mempersilahkan wanita itu untuk menunggu sampai kelahiran anaknya. Ketika anaknya lahir, wanita ini datang lagi ke Rosulullah, Rasulullah mempersilahkan wanita itu untuk menyusui anaknya sampai 2 tahun. Setelah itu datanglah lagi wanita ini ke Rasulullah untuk dirajam. Setelah itu barulah Rasulullah merajamnya sampai meninggal.

Setelah itu Rasulullah mensholatkan wanita itu. Padahal orang yang meninggal karena berzina haram hukumnya untuk di sholatkan, begitu juga orang yang bughot (menghianat) Negara. Rasulullah sempat diingatkan oleh Abu Bakar. Maka Rasulullah berkata:

“Wanita ini datang kepada Allah dengan taubat, jika kau ambil 70 orang madinah yang beriman dan kamu bandingkan dengan keimanan wanita ini, niscaya keimanan wanita ini jauh lebih berat dari pada 70 orang madinah yang beriman”



Allah Menyukai Orang-orang Yang Bertaubat

Anas bin Malik Al-Ansari r.a Allah’s Messenger SAW said: “Verily, Allah is more delighted with the repentance of His slave than a person who lost his camel in a desert land and than finds it (unexpectedly)” (Al-Bukhari and Muslim)

In another version of Muslim, he said: “Verely, Allah is more pleased with the repentance of His slave than a person who has his camel in waterless desert carrying his provision of food and drink and it is lost. He, having lost his camel; when all of sudden he find that camel standing before him.

Inilah cara-cara taubat yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Siapapun yang ingin bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, sudah selayaknya ia membaca risalah ini.